Oleh : Cahyadi Takariawan
Kemarin sore (Sabtu 24 September 2011) saya melakukan pemeriksaan kesehatan di AMC (Asri Medical Center) Yogyakarta. Keluhan yang saya sampaikan kepada dokter ahli THT di AMC adalah gangguan di telinga kanan saya. Beberapa waktu terakhir ini, telinga kanan saya dan wilayah di sekitarnya, terasa sangat tidak nyaman. Seperti berdenging, atau semacam merasa pusing, terutama saat menerima telepon melalui handphone. Dan itu berlangsung dalam waktu lama, tidak segera hilang.
Dokter Asti Widuri, Sp.THT yang memeriksa saya di AMC menanyakan berbagai hal untuk mencoba menganalisa gejala yang saya alami. Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik. Kesimpulan dokter Asti, secara fisik, telinga saya normal dan berfungsi baik. Sehingga tidak ada masalah dengan telinga kanan secara fisik.
Beliau menyampaikan analisa, bahwa sangat mungkin gejala yang saya rasakan disebabkan oleh karena saya “terlalu sering menggunakan handphone dalam waktu yang lama”. Sepertinya memang benar seperti itu. Saya termasuk orang yang sering menggunakan handphone, dan durasinya kadang bisa satu jam lebih sekali telpon.
Ketika menerima konsultasi tentang pernikahan dan keluarga di Jogja Family Center (JFC), kadang melalui handphone. Namanya orang curhat sambil konsultasi, kadang memakan waktu sepuluh menit, kadang sampai tiga puluh menit. Tidak terasa waktu berjalan, yang saya rasakan adalah handphone mulai hangat, suhunya meningkat. Telinga saya juga terasa hangat, walaupun saya sudah memindah handphone dari telinga kiri ke kanan dan seterusnya.
Kadang “terpaksa” berbicara melalui handphone dalam waktu lama, lebih dari satu jam, karena mengisi acara teleconference, atau pengajian jarak jauh. Rekan-rekan IMSA (Indonesia Moslem Society in America) beberapa kali meminta saya mengisi acara teleconference dengan tema pernikahan dan keluarga, dengan audiens warga masyarakat Indonesia yang tinggal di berbagai wilayah Amerika. Saya sedang berkegiatan di Jakarta, sembari naik taksi menuju bandara Soekarno Hatta, satu jam lebih mengisi teleconference tersebut melalui handphone.
Pernah pula teleconference saya lakukan sambil mengantarkan anak-anak saya bermain di sebuah arena bermain anak di Yogyakarta. Sembari menemani dan mengawasi anak-anak saya bermain, sekaligus mengisi acara teleconference untuk IMSA sekitar satu jam. Telinga saya terasa hangat –bahkan cenderung panas– saking lamanya menggunakan handphone.
Ternyata dampaknya mulai saya rasakan sekarang. Dokter Asti Widuri menyampaikan bahwa secara medis, yang dianggap merupakan bahaya atau resiko kesehatan dari penggunaan handphone hanyalah efek termal saja, tidak lebih dari itu. Sebab berbagai penelitian yang sampai kepada kesimpulan resiko kesehatan hingga taraf non-termal, seperti peningkatan resiko tumor, kanker dan lain sebagainya, belum disertai dengan bukti yang meyakinkan.
Usai berdialog dan memeriksa, dokter Asti memberikan resep yang harus saya konsumsi untuk mengobati gejala yang saya alami di telinga kanan. Pesan beliau tentu saja, kurangi penggunaan handphone. Ini yang sangat sulit saya lakukan.
Kontroversi Resiko Kesehatan
Sepulang periksa kesehatan dari AMC, saya segera mencoba mencari referensi mengenai resiko kesehatan radiasi elektromagnetik yang bisa dimunculkan oleh penggunaan handphone. Sangat mudah mencari informasi melalui google mengenai tema ini. Salah satu yang menarik bagi saya adalah informasi dari CK Cybers yang bertajuk “Radiasi Elektromagnetik Handphone” (
http://cakkablog.blogspot.com).
Walaupun termasuk postingan lama, namun tetap memberikan informasi aktual bagi saya. Ternyata penggunaan radio bergerak frekuensi tinggi masih menimbulkan perdebatan di kalangan pakar: apakah radiasi frekuensi tinggi mengandung resiko kesehatan bagi manusia? Pakar yang kritis mengatakan “ya”. Pendapat mereka disokong dengan bukti bahwa semakin banyak orang mengeluhkan gangguan tidur, sakit kepala atau ‘tidak enak badan’ secara umum.
Masalah-masalah kesehatan ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan efek termalnya –yaitu pemanasan jaringan tubuh manusia akibat radiasi frekuensi tinggi. Efek yang jauh lebih buruk seperti menimbulkan kanker juga dituduhkan pada radiasi frekuensi tinggi.
Sejumlah penelitian besar telah dilakukan untuk menggali bukti-bukti penting. WHO pun turun tangan dengan melakukan riset. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Interphone di bawah payung WHO ini dilakukan di 13 negara dengan jumlah responden 15.000 orang. Kesimpulannya: Ponsel dan telepon DECT (Digital Enhanced Cordless Telecommunications) tidak meningkatkan risiko tumor ganas walau digunakan setiap hari secara intensif. Seringnya penggunaan maupun dekatnya jarak ke base station DECT –misalnya di sisi tempat tidur– tidak akan mempengaruhi jumlah penderita kanker.
Dalam hasil penelitian di negara lain yang telah lebih dulu dipublikasikan, para ilmuwan sampai pada kesimpulan yang sama. Ini menumbuhkan harapan bahwa radiasi frekuensi tinggi tidak memiliki efek penimbul kanker pada manusia.
Hingga kini, yang jelas terbukti baru efek termal radiasi. Efek ini menyebabkan suhu tubuh manusia meningkat 1 derajat Celsius atau kurang, dan menurut mereka ini tidak berbahaya bagi kesehatan.
Selain itu daya tembus radiasi ke dalam tubuh juga penting. Semakin tinggi frekuensi radiasi, semakin rendah daya tembusnya. Pada ponsel dalam jaringan D 900 MHz, radiasi masuk hingga 2,5 cm, sementara pada jaringan E 1.800 MHz, hanya 1 cm.
SAR, Specific Absorption Rate
CK Cybers juga mengungkapkan, bahwa pada tahun 2001 semua produsen utama telah menyepakati sebuah proses pengukuran untuk menentukan beban radiasi dari ponsel yang disebut SAR (Specific Absorption Rate). Nilai ini menunjukkan intensitas radiasi dalam satuan Watt, yang dipancarkan sebuah ponsel ke dalam kepala pada power transmisi maksimal. Intensitas ini dibagi dengan berat tubuh manusia.
Oleh karena pengukuran realistis dalam kepala manusia tidak dapat dilakukan, digunakan sebuah kepala buatan yang disebut ‘Phantom’. Di dalamnya terdapat sensor-sensor yang mencatat radiasi ponsel. Dalam interval waktu 6 menit, radiasi maksimal dikonversi menjadi nilai SAR.
Semakin rendah nilai SAR, semakin lemah radiasi yang dipancarkan ponsel dalam kasus ekstrem. Jika nilai ini di bawah nilai batas yang ditentukan (2,0 W/kg untuk bagian tubuh termasuk kepala atau 0,08 W/kg untuk seluruh tubuh), model ponsel tersebut baru boleh dipasarkan.
Saya baru tahu ada yang namanya SAR setelah membaca postingan di CK Cybers. Inipun terjadi setelah saya mengalami gangguan kesehatan dan harus memeriksakan diri ke dokter spesialis THT di AMC. Ternyata, ada sangat banyak hal yang tidak saya ketahui tentang handphone selama ini.
Tips Mengurangi Resiko Radiasi Elektromagnetik
Berikutnya, yang disarankan oleh CK Cybers adalah beberapa tips untuk mengurangi resiko radiasi elektromegnetik bagi kesehatan.
- Hindari percakapan bila penerimaan buruk, karena ponsel akan mengirim sinyal dengan tenaga maksimal untuk mencapai tiang relay.
- Bicara singkat dan jelas. Percakapan yang lama meningkatkan radiasi dalam kepala. Jika perlu gunakan sms, waktu kirim singkat dan radiasi tidak mengarah ke kepala.
- Jangan bertelepon dalam mobil. Rangka mobil dapat memantulkan sinyal. Untuk mengatasinya ponsel harus mengirim sinyal lebih kuat dan berarti meningkatkan beban radiasi.
- Gunakan handsfree. Headset bluetooth radiasinya lebih rendah dibanding tanpa headset. Lebih baik lagi menggunakan handsfree dengan kabel.
- Ketika membeli ponsel perhatikan agar nilai SAR-nya serendah mungkin di bawah 1,0 W/kg seperti pada banyak model baru. Sebagai perbandingan sertifikasi lingkungan ‘Blue Angel’ mengijinkan hingga 0,6 W/kg.
Wah, ternyata semua bahaya dan resiko ada di sekitar kita, dari kebiasaan keseharian yang kita lakukan. Selama ini saya tidak pernah menggunakan handsfree dengan alasan kepraktisan. Saya juga sering menelpon melalui handphone di mobil. Bahkan ketika membeli handphone, saya tidak pernah peduli dengan SAR. Saya hanya peduli dengan selera dan harga, ternyata harus memperhatikan berbagai hal sebelum memutuskan membeli handphone.
Semakin terbukti, ilmu menjadi kunci utama segala sesuatu.